Saturday, October 25, 2008

Jalaluddin Rumi

Jalaluddin Rumi



Ia berkata, "Siapa itu berada di pintu?"

Aku berkata, "Hamba sahaya Paduka."

Ia berkata, "Kenapa kau ke mari?"

Aku berkata, "Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti."

Ia berkata, "Berapa lama kau bisa bertahan?"

Aku berkata, "Sampai ada panggilan."

Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah

Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.

Ia berkata, "Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan."

Aku berkata, "Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku."

Ia berkata, "Saksi tidak sah, matamu juling."

Aku berkata, "Karena wibawa keadilanmu mataku terbebas dari dosa."


Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah -kedalaman makna dan keindahan bahasa- yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.

Rumi memang bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah - sebuah tarekat yang berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah berpengaruh besar dalam lingkungan Istana TurkI Utsmani dan kalangan seniman pada sekitar tahun l648.

Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Bagi kelompok yang mengagul-agulkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui. Padahal, menurut Rumi, justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.

Rumi mengatakan, "Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah gagasan yang dipelopori kelompok Mu'tazilah. Mereka merupakan para budak yang tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya."

Bagi Rumi, tidak layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata kepala atau belum pernah meraba dengan indera.

Sesungguhnya, batin akan selalu tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung dalam obat. "Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya.Bukankah Anda mengenal obat yang bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?" tegas Rumi.


PENGARUH TABRIZ


Fariduddin Attar, seorang tokoh sufi juga, ketika berjumpa dengan Rumi yang baru berusia 5 tahun pernah meramalkan bahwa si kecil itu kelak bakal menjadi tokoh spiritual besar. Sejarah kemudian mencatat, ramalan Fariduddin itu tidak meleset. Lahir di Balkh, Afghanistan pada 604 H atau 30 September 1207 Rumi menyandang nama lengkap Jalaluddin Muhammad bin Muhammad al-Balkhi al- Qunuwi. Adapun panggilan Rumi karena sebagian besar hidupnya dihabiskan di Konya (kini Turki), yang dahulu dikenal sebagai daerah Rum (Roma). Ayahnya, Bahauddin Walad Muhammad bin Husein, adalah seorang ulama besar bermadzhab Hanafi. Dan karena kharisma dan tingginya penguasaan ilmu agamanya, ia digelari Sulthanul Ulama (raja ulama). Namun rupanya gelar itu menimbulkan rasa iri pada sebagian ulama lain. Dan merekapun melancarkan fitnah dan mengadukan Bahauddin ke penguasa. Celakanya sang penguasa terpengaruh hingga Bahauddin harus meninggalkan Balkh, termasuk keluarganya. Ketika itu Rumi baru berusia lima tahun.Sejak itu Bahauddin bersama keluarganya hidup berpindah- pindah dari suatu negara ke negara lain. Mereka pernah tinggal di Sinabur (Iran timur laut). Dari Sinabur pindah ke Baghdad, Makkah, Malattya (Turki), Laranda (Iran tenggara) dan terakhir menetap di Konya, Turki. Raja Konya Alauddin Kaiqubad, mengangkat ayah Rumi sebagai penasihatnya, dan juga mengangkatnya sebagai pimpinan sebuah perguruan agama yang didirikan di ibukota tersebut. Di kota ini pula ayah Rumi wafat ketika Rumi berusia 24 tahun. Di samping kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq
at-Turmudzi, sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan ikut mengajar pada perguruan tersebut.

Setelah Burhanuddin wafat, Rumi menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas, di samping sebagai guru, ia juga menjadi da'i dan ahli hukum Islam. Ketika itu di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.

Kesufian dan kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun. Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus delapan puluh derajat ketika ia berjumpa dengan seorang sufi pengelana, Syamsuddin alias Syamsi Tabriz.

Suatu saat, seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing -yakni Syamsi Tabriz- ikut bertanya, "Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?" Mendengar pertanyaan seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz. Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hinggaberhari-hari. Sultan Salad, putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, "Sesungguhnya, seorang guru besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu yang tiada taranya."

Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di matanya, Tabriz benar-benarsempurna. Cuma celakanya, Rumi kemudian lalai dengan tugas mengajarnya. Akibatnya banyak muridnya yang protes. Mereka menuduh orang asing itulah biang keladinya. Karena takut terjadi fitnah dan takut atas keselamatan dirinya, Tabriz lantas secara diam-diam meninggalkan Konya. Bak remaja ditinggalkan kekasihnya, saking cintanya kepada gurunya itu, kepergian Tabriz itu menjadikan Rumi dirundung duka. Rumi benar-benar berduka. Ia hanya mengurung diri di dalam rumah dan juga tidak bersedia mengajar. Tabriz yang mendengar kabar ini, lantas berkirim surat dan menegur Rumi. Karena merasakan menemukan gurunya kembali, gairah Rumi bangkit kembali. Dan ia mulai mengajar lagi.

Beberapa saat kemudian ia mengutus putranya, Sultan Salad, untuk mencari Tabriz di Damaskus. Lewat putranya tadi, Rumi ingin menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf atas tindakan murid-muridnya itu dan menjamin keselamatan gurunya bila berkenan kembali ke Konya. Demi mengabulkan permintaan Rumi itu, Tabriz kembali ke Konya. Dan mulailah
Rumi berasyik-asyik kembali dengan Tabriz. Lambat-laun rupanya para muridnya merasakan diabaikan kembali, dan mereka mulai menampakkan perasaan tidak senang kepada Tabriz. Lagi-lagi sufi pengelana itu, secara diam-diam meninggalkan Rumi, lantaran takut terjadi fitnah. Kendati Rumi ikut mencari hingga ke Damaskus, Tabriz tidak kembali lagi. Rumi telah menjadi sufi, berkat pergaulannya dengan Tabriz. Kesedihannya berpisah dan kerinduannya untuk berjumpa lagi dengan gurunya itu telah ikut berperan mengembangkan emosinya, sehingga ia menjadi penyair yang sulit ditandingi. Guna mengenang dan menyanjung gurunya itu, ia tulis syair- syair, yang himpunannya kemudian dikenal dengan nama Divan-i Syams-i Tabriz. Ia bukukan pula wejangan-wejangan gurunya, dan buku itu dikenal dengan nama Maqalat-i Syams Tabriz.

Rumi kemudian mendapat sahabat dan sumber inspirasi baru, Syekh Hisamuddin Hasan bin Muhammad. Atas dorongan sahabatnya itu, ia berhasil selama 15 tahun terakhir masa hidupnya menghasilkan himpunan syair yang besar dan mengagumkan yang diberi nama Masnavi-i. Buku ini terdiri dari enam jilid dan berisi 20.700 bait syair. Dalam karyanya ini, terlihat ajaran-ajaran tasawuf yang mendalam, yang disampaikan dalam bentuk apologi, fabel, legenda, anekdot, dan lain-lain. Karya tulisnya yang lain adalah Ruba'iyyat (sajak empat baris dalam jumlah 1600 bait), Fiihi Maa fiihi (dalam bentuk prosa; merupakan himpunan ceramahnya tentang tasawuf), dan Maktubat (himpunan surat-suratnya kepada sahabat atau pengikutnya).

Bersama Syekh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan tarekat Maulawiyah atau Jalaliyah. Tarekat ini di Barat dikenal dengan nama The Whirling Dervishes (Para Darwisy yang Berputar-putar). Nama itu muncul kerana para penganut tarekat ini melakukan tarian berputar-putar, yang diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.


WAFAT


Semua manusia tentu akan kembali kepada-Nya. Demikianlah yang terjadi pada Rumi. Penduduk Konya tiba-tiba dilanda kecemasan, gara-gara mendengar kabar bahwa tokoh panutan mereka, Rumi, sakit keras. Meski menderita sakit keras, pikiran Rumi masih menampakkan kejernihannya. Seorang sahabatnya datang menjenguk dan mendo'akan, "Semoga Allah berkenan memberi ketenangan kepadamu dengan kesembuhan." Rumi sempat menyahut, "Jika engkau beriman dan bersikap manis, kematian itu akan bermakna baik. Tapi kematian ada juga kafir dan pahit.

Pada 5 Jumadil Akhir 672 H dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat berdesak-desak ingin menyaksikan. Begitulah kepergian seseorang yang dihormati ummatnya.



Makam Jalaluddin Rumi

wassalam

Ibnu Araby

Ibnu ‘Araby dikenal luas sebagai ulama besar yang banyak pengaruhnya dalam percaturan intelektualisme Islam. Ia memiliki sisi kehidupan unik, filsuf besar, ahli tafsir paling teosofik, dan imam para filsuf sufi setelah Hujjatul Islam al-Ghazali. Lahir pada 17 Ramadhan 560 H/29 Juli 1165 M, di Kota Marsia, ibukota Andalusia Timur (kini Spanyol), Ibnu ‘Araby bernama lengkap Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Ali bin Abdullah bin Hatim. Ia biasa dipanggil dengan nama Abu Bakr, Abu Muhammad dan Abu Abdullah. Namun gelarnya yang terkenal adalah Ibnu ‘Araby Muhyiddin, dan al-Hatamy. Ia juga mendapat gelar sebagai Syeikhul Akbar, dan Sang Kibritul Ahmar.Tumbuh besar di tengah-tengah keluarga sufi, ayahnya tergolong seorang ahli zuhud, sangat keras menentang hawa nafsu dan materialisme, menyandarkan kehidupannya kepada Tuhan. Sikap demikian kelak ditanamkan kuat pada anakanaknya,tak terkecuali Ibnu ‘Araby. Sementara ibunya bernama Nurul Anshariyah. Pada 568 H keluarganya pindah dari Marsia ke Isybilia. Perpindahan inilah menjadi awal sejarah yang mengubah kehidupan intelektualisme ‘Araby kelak; terjadi transformasi pengetahuan dan kepribadian Ibnu ‘Araby. Kepribadian sufi, intelektualisme filosofis, fikih dan sastra. Kerana itu, tidak heran jika ia kemudian dikenal bukan saja sebagai ahli dan pakar ilmu-ilmu Islam, tetapi juga ahli dalam bidang astrologi dan kosmologi.Meski Ibnu ‘Araby belajar pada banyak ulama, seperti Abu Bakr bin Muhammad bin Khalaf al-Lakhmy, Abul Qasim asy-Syarrath, dan Ahmad bin Abi Hamzah untuk pelajaran Alquran dan Qira’ahnya, serta kepada Ali bin Muhammad ibnul Haq al-Isybili, Ibnu Zarqun al-Anshary dan Abdul Mun’im al-Khazrajy, untuk masalah fikih dan hadis madzhab Imam Malik dan Ibnu Hazm Adz-Dzahiry, Ibnu ‘Araby sama sekali tidak bertaklid kepada mereka. Bahkan ia sendiri menolak keras taklid. Ibnu ‘Araby membangun metodologi orisinal dalam menafsirkan Alquran dan Sunnah yang berbeda dengan metode yang ditempuh para pendahulunya.

Hampir seluruh penafsirannya diwarnai dengan penafsiran teosofik yang sangat cemerlang. “Kami menempuh metode pemahaman kalimat-kalimat yang ada itu dengan hati kosong dari kontemplasi pemikiran.Kami bermunajat dan dialog dengan Allah di atas hamparan adab, muraqabah, hudhur dan bersedia diri untuk menerima apa yang datang dari-Nya, sehingga Al-Haq benar-benar melimpahkan ajaran bagi kami untuk membuka tirai dan hakikat… dan semoga Allah memberikan pengetahuan kepada kalian semua…”ujar Ibnu ‘Araby suatu kali. Jalan Tengah Pada perjalanan intelektualismenya, Ibnu ‘Araby akhirnya menempuh jalan halaqah sufi (tarekat) dari beberapa syeikhnya. Setidaknya, ini terlihat dari apa yang ia tulis dalam salah satu karya monumentalnya Al-Futuhatul Makkiyah, yang sarat dengan permasalahan sufisme dari beberapa syeikh yang memiliki disiplin spiritual beragam. Pilihan ini juga yang membuat ia tak menyukai kehidupan duniawi, sebaliknya lebih memusatkan pada perhatian ukhrawi.

Untuk kepentingan ini, ia tak jarang melanglang buana demi menuntut ilmu. Ia menemui para tokoh arif dan jujur untuk bertukar dan menimba ilmu dari ulama tersebut. Tidak mengherankan bila dalam usia yang sangat muda, 20 tahun, Ibnu ‘Araby telah menjadi sufi terkenal.Menurutnya, tarekat sufi dibangun di atas empat cabang, yakni: Bawa’its (instrumen yang membangkitkan jiwa spiritual); Dawa’i (pilar pendorong ruhani jiwa); Akhlaq, dan Hakikat-hakikat. Sementara komponen pendorongnya ada tiga hak. Pertama, hak Allah, adalah hak untuk disembah oleh hamba-Nya dan tidak dimusyriki sedikitpun. Kedua, hak hamba terhadap sesamanya, yakni hak untuk mencegah derita terhadap sesama, dan menciptakan kebajikan pada mereka.Ketiga, hak hamba terhadap diri sendiri, yaitu menempuh jalan (tarekat) yang di dalamnya kebahagiaan dan keselamatannya.Pada hak Allah (hak pertama), dapat dilacak secara sempurna pada seluruh karya Ibnu ‘Araby. Di sini, tauhid dijadikan sebagai konsumsi, iman sebagai cahaya hati, dan Alquran sebagai akhlaknya. Lalu naik ke tahap yang tak ada lagi selain al-Haq, yakni Allah SWT. Karakter Ibnu ‘Araby senantiasa naik dan naik ke wilayah yang luhur. Kuncinya senantiasa bertambah rindu, dan hatinya jernih semata hanya bagi al-Haq.Sementara rahasia batinnya bermukim menyertai-Nya, tak ada yang lain yang menyibukkan dirinya kecuali Tuhannya. Ibnu ‘Araby menggunakan kendaraan mahabbah (kecintaan), bermadzhab ma’rifah, dan ber-wushul tauhid. Ubudiyah dan iman satu-satunya dalam pandangan ‘Araby hanyalah kepada Allah Yang Esa dan Mahakuasa, Yang Suci dari pertemanan dan peranakan.
Sementara hak sesama makhluk, ia mengambil jalan taubat dan mujahadah jiwa, serta lari kepada-Nya. Ia gelisah ketika kosong atas tindakan kebajikan yang diberikan Allah, sebagai jalan mahabbah dan mencari ridha-Nya. Hak ini bersumber pada ungkapan ruhani dimana semesta alam yang ada di hadapannya merupakan penampilan al-Haq. Seluruh semesta bertasbih pada Sang Khaliq, dan menyaksikan kebesaran-Nya.
Hak terhadap diri sendiri adalah menempuh kewajiban agar sampai pada tingkah laku ruhani dengan cara berakhlak yang dilandaskan pada sifat-sifat al-Haq, dan upaya penyucian dalam taman

Zat-Nya.Kontroversial Meski demikian, tak sedikit yang menilai pandangan-pandangan filsafat tasawuf Ibnu ‘Araby, terutama kaum fuqaha’ dan ahli hadis, sebagai sangat kontroversial.Sebut saja, misalnya, teorinya tentang Wahdatul Wujud yang dianggap condong pada pantheisme. Salah satu sebabnya adalah lantaran dalam karya-karyanya itu Ibnu ‘Araby banyak menggunakan bahasa-bahasa simbolik yang sulit dimengerti khususnya kalangan awam. Karenanya, tidak sedikit yang mengganggap ‘Araby telah kufur, misalnya Ibnu Taymiyah, dan beberapa pengikutnya yang menilainya sebaga ‘kafir’. Memang pada akhirnya, Ibnu Taimiyah menerima pandangan Ibnu ‘Araby setelah bertemu dengan Taqyuddin Ibnu Athaillah as-Sakandari asy-Syadzily di sebuah masjid di Kairo, yang menjelaskan makna-makna metafora Ibnu ‘Araby. “Kalaubegitu yang sesat itu adalah pandangan pengikut Ibnu ‘Araby yang tidak memahami makna sebenarnya,” komentar Ibnu Taimiyah.Di Indonesia, ketersesatan memahami Ibnu ‘Araby juga terjadi khususnya di Jawa, ketika aliran kebatinan Jawa Singkretik dengan tasawuf Ibnu ‘Araby.Diskursus Manunggaling Kawula Gusti telah membuat penafsiran yang menyesatkan di kebatinan Jawa, yang sama sekali tidak pantas untuk dikaitkan dengan Wahdatul Wujud-nya Ibnu ‘Araby. Bahkan di pulau padat penduduk ini,sudah melesat ke arah kepentingan jargon politik yang menindas atas nama Tuhan. Kerana itulah, untuk memahami karya-karya dan wacana Ibnu ‘Araby,harus disertai tarekat secara penuh, komprehensif dan iluminatif.Menurut penelitian para ulama dan orientalis, Ibnu Araby mempunyai sedikitnya 560 kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan dan umum. Malah ada yang mengatakan, termasuk risalah-risalah kecilnya, mencapai 2.000 judul. Kitab tafsirnya yang terkenal adalah Tafsir al-Kabir yang terdiri 90 jilid, dan ensiklopedi tentang penafsiran sufistik, yang paling masyhur, yakni Futuhatul Makkiyah (8jilid), serta Futuhatul Madaniyah. Sementara karya yang tergolong paling sulit dan penuh metafora adalah Fushushul Hikam. Dalam lentera karya dan pemikirannya itulah, ia begitu kuat mewarnai dunia intelektualisme Islamuniversal.




Makam Ibnu Arabi

wassalam

Hasan Al Basri

Lahir dan pertumbuhannya:

Nama Hasan bin Yasar, maula (hamba yang dimerdekakan untuk laki-laki, untuk perempuan maulat) milik sahabat yang mulia Zaid bin Tsabit dan ibunya, Khairah maulat milik Ummu Salamah, istri Nabi saw.

Hasan lahir di Madinah, kira-kira tahun 30 H, dia dibesarkan di rumah isteri-isteri Nabi, terutama rumah Umu Salamah. Dia terdidik di pangkuan Umu Salamah yang merupakan salah satu wanita Arab yang paling sempurna akal pikirannya, paling bijaksana, isteri Nabi yang paling luas ilmuanya dan paling banyak meriwayatkan hadis dari beliau. Juga termasuk hitungan wanita Arab yang tahu tulis baca di zaman Jahiliah. Hasan juga mendapatkan kehormatan dapat menyusu dari Umu Salamah pada saat ibunya pergi untuk suatu keperluan. Maksud Umu Salamah hanya untuk menghibur Hasan kecil yang sedang menangis karena lapar tetapi dengan kehendak Allah tetek beliau mengeluarkan susu. Demikianlah Hasan terus berpindah-pindah dari rumah Ibu kaum Mukminin yang satu ke rumah Ibu kaum Mukminin yang lain. Dari iklim yang bersih itu Hasan menghirup akhlak, agama dan ilmu pengetahuan.


Menuntut ilmu:

Hasan berguru kepada sahabat-sahabat terkemuka di Masjid Rasul saw. seperti; Usman bin Affan, Abdullah bin Abbas, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa Al-Asy‘ari, Anas bin Malik, Jabir bin Abdullah dan Abdullah bin Umar.

Lalu dia pindah ke Basrah bersama kedua orang tuanya. Basrah pada saat itu adalah salah satu pusat keilmuan terbesar. Masjidnya selalu ramai dengan para sahabat yang datang silih berganti, terutama Abdullah bin Abbas yang selalu disertai oleh Hasan Al-Bashri. Dari sahabat inilah dia belajar tafsir, hadis dan ilmu membaca Alquran. Dari sahabat lain Hasan belajar fikih, sastra dan bahasa, hingga menjadi orang yang ilmunya paling banyak pada zamannya.

Akhirnya banyak orang yang mendatangi majlis pengajian Hasan yang menjadi banyak dicintai orang dan namanya terkenal ke mana-mana.


Pujian ulama kepada dirinya:

Salah seorang sahabat dekatnya, Khalid bin Shafwan mengatakan, “Dia adalah orang yang batinnya sama dengan lahirnya dan perkataannya sama dengan perbuatannya. Apabila berpesan untuk melakukan kebaikan dia adalah orang yang paling banyak melakukannya dan apabila melarang dari keburukan dia adalah orang yang paling banyak meninggalkannya. Saya benar-benar telah mendapatkannya sebagai orang yang tidak menidakkan orang lain di saat orang lain sangat menidakkan dirinya.”
Maslamah bin Abdul Malik juga mengatakan tentang dirinya, “Bagaimana bisa tersesat suatu kaum padahal di dalamnya ada Hasan Al-Bashri?”


Nasihatnya kepada para penguasa:

Dia tidak pernah meninggalkan memberikan nasihat kepada para penguasa apabila hal itu dia anggap benar, meskipun keras. Sampai pada saat dimintai pendapat oleh Umar bin Hubairah tentang perintah yang diberikan oleh khalifah Yazid bin Abdul Malik yang menurutnya tidak tepat, “Ibn Hubairah! Takutlah kepada Allah dalam melaksanakan perintah Yazid dan jangan takut kepada Yazid dalam melaksanakan perintah Allah. Ketahuilah bahwa Allah swt. pasti melindungimu dari Yazid, sedang Yazid tidak mampu melindungimu dari Allah. Ibn Hubairah, sebentar lagi akan datang kepadamu seorang malaikat yang kejam dan tidak pernah melanggar perintah Allah, untuk memindahkanmu dari depan dan istana yang luas ini ke kuburan sempit yang tidak engkau temukan Yazid di sana. Sebaliknya engkau akan menemukan amal perbuatanmu yang melanggar perintah Tuhan Yazid. Ibn Hubairah! Jika engkau bersama Allah dan taat kepada-Nya, akan selamat dari musibah Ibn Abdul Malik di dunia dan akhirat. Tetapi jika bersama Yazid dalam melakukan maksiat kepada Allah, Allah akan menyerahkan dirimu kepada Yazid. Ketahuilah wahai Ibn Hubairah! Bahwa seorang makhluk —siapapun orangnya— tidak boleh ditaati jika dia melanggar perintah Allah.” Ibn Hubairah lalu menangis hingga air matanya membasahi janggutnya.


Pesan-pesannya:

Pesan-pesan Hasan Al-Bashri menggetarkan hati, menggugah orang-orang yang lalai dan membuat air mata pendengarnya bercucuran. Dia pernah mengatakan, “Permisalan antara dunia dan akhirat adalah bagaikan timur dan barat. Apabila engkau bertambah dekat ke salah satu dua arah itu, berarti anda telah bertambah jauh dari akhirat. Dunia adalah kampung, permulaannya susah payah dan akhirnya kebinasaan. Dalam barang halalnya perhitungan, dan dalam barang haramnya siksaan. Barangsiapa merasa cukup dengannya, dia telah tertipu, barang siapa membutuhkannya, dia bersedih.”


Wafatnya:

Hasan Al-Basri wafat pada tahun 110 H. Ketika itu penduduk Bashrah berbondong-bondong mengantar jenazahnya pada hari Jumat, awal Rajab. Semoga Allah memberinya kasih sayang yang luas.


Makam Hasan Al Basri di Basra Iraq

wassalam

Friday, October 24, 2008

Hamka



Pengenalan

Tokoh dari tanah seberang ini sengaja dipilih untuk disisipkan dalam koleksi ini kerana Almarhum Haji Abdul Malik Bin Haji Abdul Karim Amarullah atau dikenali sebagai Prof. Dr Hamka adalah ulama besar Nusantara yang sangat terkenal. Lebih-lebih lagi beliau berasal dari tanah Minangkabau yang mempunyai pertalian dengan masyarakat adat perpatih di Negeri Sembilan. Setiap orang di negara ini yang pernah melihat dan mendengar kuliah agama yang disampaikan oleh tokoh ini pastinya merasai kerinduan yang mendalam terhadap nastolgia lampau. Penyusun sendiri tanpa sedar boleh menitiskan airmata apabila tokoh ‘idola’ ini tersedu dalam ceramah dakwahnya di kaca TV kira-kira awal tahun 1970an dahulu. Gayanya yang tersendiri dalam berdakwah amat memukau sekali bagai magnet yang boleh menyentuh hati setiap insan yang mendengar.

Latar Belakang Ulama

Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yakni singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik.

Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati.

HAMKA (1908-1981), adalah lebih terkenal daripada nama sebenar. Beliau adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Beliau lahir pada 14 Muharram 1326H bersamaan 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, yang tersohor dan dianggap pula pembawa reformasi Islam ( kaum muda). Menariknya pula, datuk beliau adalah ulama tarekat yang bersuluk terkenal. Tuan Kisa-i ( datuk Hamka) tetap mengamal Thariqat Naqsyabandiyah, istiqamah mengikut Mazhab Syafie. Pemahaman Islam Tuan Kisa-i sama dengan pegangan ‘Kaum Tua’, tetapi pada zaman beliau istilah ‘Kaum Tua’ dan ‘Kaum Muda’ belum tersebar luas. Anak beliau, Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah, adalah seorang pelopor dan termasuk tokoh besar dalam perjuangan ‘Kaum Muda’. Syeikh Haji Abdul Karim Amrullah menolak amalan Thariqat Naqsyabandiyah, sekali gus menolak ikatan ‘taqlid’, tetapi lebih cenderung kepada pemikiran Syeikh Muhammad Abduh. Manakala ibunya pula bernama Siti Safiyah Binti Gelanggar yang bergelar Bagindo nan Batuah. sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Menurut sejarahnya, bapa beliau pernah dibuang daerah oleh penjajah Belanda ke Sukabumi dalam tahun 1941 lantaran fatwa beliau yang dianggap membahayakan penjajah dan keselamatan umum. Haji Abdul Karim adalah tuan guru kepada Sheikh Haji Ahmad Jelebu[1] yang riwayat hidupnya turut disajikan dalam koleksi ini. Beliau meninggal dunia pada 21 Jun 1945.

Hamka mendapat didikan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Beliau menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Beliau menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Pendidikan

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo. Masa kecilnya, seperti kanak-kanak lain beliau juga dikatakan lasak dan nakal. Ini diceritakan sendiri oleh Sheikh Haji Ahmad Jelebu bahawa Hamka pernah menyimbah air kepada penuntut lain semasa mengambil wuduk. Selepas itu beliau berguru pula kepada Sheikh Ibrahim Musa di Bukit Tinggi. Dalam tahun 1924, Hamka berhijrah ke Jawa sempat menuntut pula kepada pemimpin gerakan Islam Indonesia seperti Haji Omar Said Chakraminoto. Lain-lain gurunya ialah Haji Fakharudin, Ki Bagus, Hadi Kesumo dan iparnya sendiri Rashid Sultan Mansur.

Kerjaya Hidup

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang panjang pada tahun 1929. Hamka bergiat aktif bagi menentang gejala khurafat, bidaah dan kebatinan sesat di sana. Beliau menubuhkan Madrasah Mubalighin pada 1929 dan dua berikutnya, Pak Hamka berpindah pula ke Kota Makasar, Sulawesi untuk menjadi pimpinan Muhamadiah.

Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padangpanjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).

Keilmuan dan ketokohan yang ada pada beliau mendorong beberapa buah universiti mengambilnya sebagai pensyarah dalam bidang agama dan falsafah. Antara universiti itu ialah Universiti Islam Jakarta, Universiti Mohamadiah Sumatera Barat, Universiti Islam Pemerintah di Jogjakarta dan Universiti Islam Makasar. Bagi mengiktiraf keilmuannya, Universiti Al Azhar, Mesir telah menganugerahkan Doktor Kehormat dalam tahun 1958 dan beliau turut menerima ijazah Doktor Persuratan UKM pada 7 Jun 1974.

Karya Buya Hamka

Keistimewaan Pak Hamka ialah kebolehannya menulis novel dan menghasilkan kitab-kitab agama yang terkenal. Berikut ialah beberapa buah buku karangan tersebut:

1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.

2. Si Sabariah. (1928)

3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.

4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).

5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).

6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).

7. Hikmat Isra’ dan Mikraj.

8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.

9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.

10. Majallah ‘Tentera’ (4 nomor) 1932, di Makassar.

11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.

12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.

13. Di Bawah Lindungan Ka’bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.

14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.

16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.

17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.

18. Tuan Direktur 1939.

19. Dijemput mamaknya,1939.

20. Keadilan Ilahy 1939.

21. Tashawwuf Modern 1939.

22. Falsafah Hidup 1939.

23. Lembaga Hidup 1940.

24. Lembaga Budi 1940.

25. Majallah ‘SEMANGAT ISLAM’ (Zaman Jepun 1943).

26. Majallah ‘MENARA’ (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.

27. Negara Islam (1946).

28. Islam dan Demokrasi,1946.

29. Revolusi Pikiran,1946.

30. Revolusi Agama,1946.

31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.

32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.

33. Didalam Lembah cita-cita,1946.

34. Sesudah naskah Renville,1947.

35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.

36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.

37. Ayahku,1950 di Jakarta.

38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.

39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.

40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.

41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.

42. Kenangan-kenangan hidup 2.

43. Kenangan-kenangan hidup 3.

44. Kenangan-kenangan hidup 4.

45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.

46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.

47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.

48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.

49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.

50. Pribadi,1950.

51. Agama dan perempuan,1939.

52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.

53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).

54. Pelajaran Agama Islam,1956.

55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.

56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.

57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.

58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.

59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.

60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.

61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.

62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.

63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.

64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.

65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.

66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.

67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).

68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).

69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.

70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.

71. Himpunan Khutbah-khutbah.

72. Urat Tunggang Pancasila.

73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.

74. Sejarah Islam di Sumatera.

75. Bohong di Dunia.

76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).

77. Pandangan Hidup Muslim,1960.

78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.

79. Tafsir Al-Azhar Juzu’ 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.

Majalah

* Kemahuan Zaman ( 1929)

* Al Mahdi ( 1933)

* Pendoman Masyarakat ( 1936 - 1942)

* Semangat Islam ( 1944- 1948)

* Menara ( 1946-1948)

* Panji Masyarakat ( 1959)

Hasil tulisan beliau ini banyak memberi petunjuk dan ilham kepada para pembacanya. Malah karya-karya Almarhum Pak Hamka mampu membangkit semangat perjuangan seperti karya-karyanya dalam majalah selepas perang. Majalah Panji Masyarakat sendiri telah telah diharamkan oleh pemerintahan Sukarno dalam tahun 1960 iaitu setahun selepas penerbitannya. Bagaimanapun, majalah ini diterbitkan semula dalam pemerintahan order baru Suharto tahun 1966.

Pak Hamka pernah dipenjarakan awal tahun 1960an. Zaman pemerintahan Sukarno dan ketika kominis bermaharajalela, selain ditangkap buku-buku Almarhum ada yang dibakar. Di dalam penjara inilah, beliau melahirkan kitab Tafsir Al Azhar yang menjadi bacaan ummah sekarang. Penahanan batang tubuhnya dalam sangkar besi itu tidak dapat membunuh semangatnya untuk beribadah kepada Tuhannya.

Penyusun pernah membaca kisah riwayat Presiden Sukarno yang penuh kontroversi itu. Dinyatakan apabila bekas Presiden itu meninggal dunia, Pak Hamka telah dijemput dan dirayu supaya mengimami sholat jenazah Sukarno. Peringkat awalnya, Almarhum agak keberatan menunaikannya kerana sikap Sukarno masa hidupnya amat dipertikaikan. Namun apabila teringat tentang sifat Allah yang Maha Pengampun untuk mengampun dosa-dosa hambaNya. Buya Hamka maju juga ke hadapan untuk mengetuai sholat jenazah itu, dikatakan saat akhir hidupnya Sukarno mulai kembali kepada fitrah mengingati penciptanya.

Berdakwah

Penyusun amat bersetuju dengan pandangan bahawa Pak Hamka adalah tokoh Ulama besar dan pendakwah tersohor yang pernah dilahirkan untuk abad kedua puluh di Nusantara ini. Kewalian dan sifat karamah maknawiyah yang dimilikinya, mampu menyentuh hati dhamir ribuan insan yang mendengar kata bicaranya yang lunak dan menyegarkan. Penyusun ingin mengutip tulisan Saudara Abdul Ghani Said,[2] penyusun buku “ 7 wali Melayu” bahawa Keistimewaan karamah maknawiyah antara lain ialah kata-katanya memberi kesan pada hati pendengar hingga mendorong orang membuat perubahan pada jalan kebaikan..”

Kekuatan minda dan kefasihan lidahnya untuk berdakwah dengan susun kata yang memukau jarang dimiliki oleh kebanyakan pendakwah. Kalau ada kisah tentang burung boleh berhenti terbang di udara apabila mendengar kemerduan bacaan Kitab Zabur oleh Nabi Daud A.S, maka Buya Hamka juga mempunyai magnet yang boleh meruntun jiwa pendengarnya untuk melabuhkan punggung mendengar sebentar ceramah dakwahnya. Hati yang keras bisa terlunak dan terpegun. Memang Allah memberi keistimewaan besar kepadanya iaitu senjata sulit berdakwah dengan lidahnya.

Di Negara kita, Pak Hamka sering juga berkunjung dan memenuhi undangan untuk berceramah termasuk di kaca TV hingga awal tahun 1980an. Beliau sering diundang menyertai muktamar Islam peringkat antarabangsa dan pernah berdakwah hingga ke Benua Eropah dan Amerika Syarikat. Kata Dr H. Ibnu Sutowo, hampir kesemua perjalanan hidupnya di dunia ini dimaksudkan untuk agama.

Kembali Ke Rahmatullah

Ulama istimewa ini kembali menemui Al Khaliqnya sewaktu berusia 72 tahun pada 24 Julai 1981 jam 11.10 pagi waktu Malaysia. Almarhum dipercayai mengalami serangan penyakit jantung. Penyusun berharap agar paparan kisah hidup tokoh nusantara yang agong ini dapat mengimbau kembali kenangan kita terhadap Pak Hamka yang dikasihi dan kita tidak rugi apabila mengingati orang-orang yang soleh kerana ia boleh mendatangkan rahmah. Rasulullah sendiri pernah bersabda yang bermaksud

“ Sesungguhnya perbandingan ulama di bumi sepertilah bintang- bintang di langit yang boleh dijadikan panduan di dalam kegelapan di bumi dan di laut..”

Golongan yang cuba mengelak diri dari mendampingi ulama atau memusuhi mereka yang ikhlas untuk memandu kita di dunia ini perlulah berwaspada. Ingatlah, peringatan Allah SWT dalam Hadith Qudsi :“ Barang siapa memusuhi waliKu ( ulama), maka Aku akan mengisytiharkan perang terhadapnya” ( Riwayat Al Bukhari).

[1] Maklumat dari Haji Mahmud Fasih.

[2] Muka surat 11, buku “ 7 Wali Melayu”.

# Kenangan-kenangan 70 tahun Buya Hamka, terbitan Yayasan Nurul Islam, cetakan kedua 1979.

Imam Al Ghazali

Sejarah Ringkas Al Ghazali

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad, Imam Besar Abu Hamid Al Ghazali Hujjatul Islam. Dilahirkan di Tunsia, suatu kota di Khurasan dalam tahun 450 Hijrah (1058M). Ayahnya berkerja membuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar Thusia.

Sebelum meninggal ayah Al Ghazali meninggalkan kata pada seorang ahli tasawuf iaitu temannya juga, supaya mengasuh dan mendidik Al Ghazali dan adiknya Ahmad. Setelah meninggal ayahnya, maka hiduplah Al Ghazali dibawah asuhan ahli tasawuf itu.

Harta pusaka yang diterimanya adalah sedikit sekali. Ayahnya seorang miskin yang jujur, hidup atas usaha sendiri bertenun kain bulu. Di samping itu selalu mengunjungi rumah alim ulama, memetik ilmu pengetahuan, berbuat jasa dan memberi bantuan kepada mereka. Apabila mendengar huraian alim ulama itu maka ayah al Ghazali menangis tersedu-sedu seraya bermohon kepada Allah SWT kiranya dia dianugerahkan seorang putera yang pandai dan berilmu.

Pada masa kecilnya Al Ghazali mempelajari ilmu feqah dinegerinya sendiri dengan Syeikh Ahmad bin Muhammad Ar Razikani. Kemudian pergi ke negeri Jurjan dan belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismail. Setelah mempelajari beberapa ilmu dinegeri tersebut, berangkatlah Al Ghazali ke negeri Nisapur dan belajar pada Imam Al Haramain. Disana mulalah Al Ghazali memperlihatkan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantic(logika) falsafah, dan fiqh madzhab Syafie. Imam Al Haramain amat berbesar hati dan selalu mengatakan “Al Ghazali itu lautan tak bertepi…..”

Setelah wafat Imam Haramain, lalu Al Ghazali berangkat ke Al Askar mengunjungi Menteri Nizamul Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan alim ulama dan pemuka-pemuka ilmu pengetahuan. Semuanya mengakui akan ketinggian dan keahlian Al Ghazali. Menteri Nizamul Muluk melantik Al Ghazali pada tahun 484 H menjadi guru besar pada Perguruan Tinggi Nizamiah yang didirikan di kota Baghdad. Empat tahun lama Al Ghazali mengajar di perguruan tersebut dengan cukup mendapat perhatian dari para pelajar, dari dekat dan jauh, sampai datang kepadanya suatu masa, dimana dia menjauhkan diri dari masyarakat ramai.

Maka pada tahun 488 H, Al Ghazali pergi ke Mekah menunaikan rukun Islam yang kelima. Setelah selesai mengerjakan Haji, ia terus ke Negeri Syam(Syria), mengunjungi Baitul Maqdis. Kemudian ke Damaskus dan terus menetap beribadah di Masjid Al Umawi di kota tersebut pada satu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “ Al Ghazaliyah” , diambil dari nama mulia itu. Pada masa itulah Al Ghazali mengarang kitab IHYA ULUMUDDIN. Keadaan hidup dan kehidupannya pada saat itu amat sederhana, dengan berpakaian kain kasar, menyedikitkan makan dan minum, mengunjungi masjid-masjid dan desa, melatih diri berbanyak ibadah dan menempuh jalan yang membawanya kepada kerelaan Tuhan Yang Maha Esa.

Kemudian dia kembali ke Baghdad, mengadakan majlis pengajaran dan menerangkan isi dan maksud dari kitabnya, Ihya Ulumuddin. Tidak lama selepas itu beliau berangkat pula ke Nisapur dan mengajar sebentar di Perguruan Nizamiyah Nisapur. Akhirnya kembali ia ke kampung asalnya Thusia. Maka didirikannya disamping rumahnya sebuah madrasah untuk ulama-ulama feqah dan sebuah pondok untuk kaum sufi (ahli Tasawuf). Dibagikan waktunya antara membaca Al Quran, mengadakan pertemuan dengan kaum sufi, memberi pelajaran kepada penuntut-penuntut ilmuyang ingin menyauk dari lautan ilmunya, mendirikan solat, dan lain-lain ibadah. Cara hidup yang demikian diteruskan sampai akhir hayatnya. Dengan mendapat husnul khatimah Al Ghazali meninggal dunia pada hari Isnin tanggal 14 Jumadil akhir tahun 505 H (1111M) di Thusia.

Jenazahnya dikebumikan di makam Ath Thabiran, berdekatan dengan makam Al Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Al Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang diucapkan pula kemudian oleh Farancis Bacon seorang filosofi Inggeris iaitu: “ Ku letakkan arwahku dihadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi sepi. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir ummat manusia di masa hadapan”

Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh ummat Muslimin khususnya dan dunia umumnya dengan karangan-karangan yang berjumlah hamper 100 buah banyaknya. Diantaranya kitab Ihya yang teriri daripada empat jilid besar. Kitab Ihya amatlah terkenal dirata-rata dunia. Di Eropah ia mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasa ke dalam beberapa bahasa moden. Dalam dunia Kristian telah lahir pula kemudian Thomas a Kempis (1379-1471 M) yang mendekati dengan peribadi Al Ghazali dalam dunia Islam berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang sifatnya mendekati IHYA, tetapi dipandang dari pendidikan Kritian.

Diantara karangannya yang banyak itu, terdapat dua buah yang kurang dikenali dinegara kita, akan tetapi sangat terkenal didunia Barat. Malah menyebabkan pecah perang pena antara ahli falsafah iaitu kitab “Maqashidul falasifah” (Ahli-ahli falsafah) dan “Tahafutul falasifah”(Kesesatan ahli-ahli falsafah).

Kitab yang pertama berisi ringkasan dari bermacam-macam ilmu falsafah dan mantic, metafizika, dan fizika. Kitab ini sudah diterjemahkan oleh Dominicus Gundisalvus ke bahasa Latin di akhir abad ke 12 M

Kitab yang kedua memberi kritikan yang tajam atas system falsafah yang telah diterangkan satu persatu dalam kitab yang pertama tadi. Al Ghazali sendiri menerangkan dalam kitab yang kedua itu, bahawa maksudnya menulis kitab yang pertama tadi adalah mengumpul dahulu bahan-bahan untuk para pembaca, dan yang kemudiannya akan dikritiknya satu persatu dalam kitab yang kedua.

Beberapa puluh tahun kemudia lahirlah di Andalusia (Sepanyol) Ibnu Rusyd, digelarkan Filosof Cordova(1126-1198). Dia membantah akan pendirian Al Ghazali dalam hal falsafah itu dengan mengarang sebuah kitab yang dinamainya “Tahafutu-tahafutil falasifah”(Kesesatan buku Tahafutul falasifah Al Ghazali)

Dalam buku ini Ibnu Rusyd telah menjelaskan kesalahan pahaman Al Ghazali tentang pergertian apa yang dinamakan falsafah dan beberapa salah fahamnya tentang pokok-pokok pelajaran falsafah.

Demikianlah telah beredar dua buah buku dalam dunia Islam, yang satu menyerang dan menghancurkan falsafah dan yang satu lagi mempertahankan falsafah itu. Keduanya bertempur secara aktif dalam dunia fikiran umat Islam dan menantikan waktunya masing-masing, siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

Disamping kemasyhuran dan keagungan yang dipunyai Al Ghazali, dilontarkannya kitab Tahafutul falasifah ketengah-tengah umat manusia dengan gaya bahasa yang hidup bergelora. Sehingga karangan Ibnu Rusyd menjadi lumpuh menghadapi kekayaan bahasa Al Ghazali. Maka pada akhirnya dalam peperangan alam fikiran ini, Al Ghazali tampil ke tengah gelanggang pemenang.

Sebagai filosofi, Al Ghazali mengikut aliran falsafah yang boleh dinamakan “madzhab hissiyat” iaitu dapat dikira-kira sama erti dengan mazhab perasaan .Sebagaimana filosof Inggeris David Hume (1711-1776) yang mengemukakan bahawa perasaan menentang aliran rasionalisme, yakni satu aliran falsafah yang timbul di abad ke 18 M, yang semata-mata berdasar kepada pemeriksaan panca indera dan akal manusia.

Al Ghazali telah mengemukakan pendapat yang demikian, selama 700 tahun terlebih dahulu dari David Hume. Ia mengakui bahawa perasaan itu boleh keliru juga akan tetapi akal manusia juga tidak terpelihara dari kekeliruan dan kesesatan. Dan tidak dapat mencapai kebenaran sesempurnanya dengan sendiri sahaja. Dan tidak mungkin dapat dibiarkan bergerak dengan semahu-mahunya sahaja. Lalu akhirnya Al Ghazali kembali kepada apa yang dinamakannya “dlaruriat” atau aksioma sebagai hakim dari akal dan perasaan dan kepada hidayah yang datang dari Allah SWT.

Al Ghazali tidak kurang mengupas falsafah Socrates, Aristoteles dan memperbincangkan pelbagai masalah yang sulit-sulit dengan cara yang halus dan tajam. Tidak kurang juga ia membentangkan ilmu mantic dan menyusun ilmu kalam yang tahan uji disbandingkan dengan karangan-karangan filosof yang lain. Semua ini menunjukkan ketajaman otaknya. Disamping itu tidak enggan dia berkata dengan kerendahan hatinya serta khusyuk akan kata-kata “wallahhu a’lam” artinya “Allah yang Maha Tahu”

Dalam zaman Al Ghazali, masih berkobar pertentangan antara ahli tasawuf dan ahli feqah. Maka salah satu dari usaha Al Ghazali ialah merapatkan kedua golongan yang bertentangan itu. Baik semasa hidupnya atau sesudah wafatnya, Al Ghazali mendapat teman sealiran dan sefahaman, disamping lawan yang menentang akan pendiriannya. Yang tidak sefahaman, diantaranya Ibnu Rusyd, Ibnu Thaimiyah, Ibnu Qayyim dan lain-lain ahli feqah. Didunia barat Al Ghazalimendapat perhatian besar, mendapat penghargaan dari para filosofi. Diantaranya Renan, Cassanova, Carra de Vaux dan lain-lain.

Seorang ahli ketimuran Inggeris bernama Dr. Zwemmer pernah memasukkan Al Ghazali menjadi salah seorang dari empat orang pilihan pihak Islamdari mulai zaman Rasulullah Saw sampai kepada zaman kita sekarang, iaitu:

1. Nabi Besar Muhammad s.a.w sendiri
2. Imam Al Bukhari, ulama hadis yang terbesar.
3. Imam Al Asya’ri, ulama tauhid yang termasyhur.
4. Imam Al Ghazali, pengarang Ihya yang terkenal.

Demikianlah sekelumit sejarah hidup ulama besar ini, dengan kita menyebut beberapa bidang lagi, dimana Al Ghazali mempunyai saham yang tidak kecil, seperti bidang pendidikan, dakwah, feqah dan lain-lain lagi.

wassalam

Abu Yazid Bustami

Abu Yazid Bustami


Baizid Bostami’s Mazar

Setelah menatap Allah aku memandang diriku sendiri dan merenungi rahsia serta hakikat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan tercemar.

Abu Yazid Thoifur bin Isa bin Surusyan al-Busthami, lahir di Bustham terletak di bahagian timur Laut Persi. Meninggal di Bustham pada tahun 261 H/874 M. Beliau merupakan salah seorang Sultan Aulia, yang juga sebagai salah satu Syeikh yang ada dalam silasilah dalam thoriqoh Sadziliyah dan beberapa thoriqoh yang lain. Abang Abu Yazid merupakan penganut agama Zoroaster. Ayahnya adalah salah satu di antara orang-orang terkemuka di Bustham. Kehidupan Abu Yazid yang luar biasa bermula sejak ia masih berada dalam kandungan. “Setiap kali aku menyuap makanan yang kuragukan kehalalannya”, ibunya sering berkata pada Abu Yazid, “engkau yang masih berada didalam rahimku memberontak dan tidak mahu berhenti sebelum makanan itu kumuntahkan kembali”. Pernyataan itu dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri. Setelah sampai waktunya, si ibu mengirim Abu Yazid ke sekolah untuk mempelajari Al Qur-an. Pada suatu hari gurunya menerangkan erti satu ayat dari surat Luqman yang berbunyi, “Berterima kasihlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid, ia lalu meletakkan batu tulisnya dan berkata kepada gurunya, “izinkanlah aku pulang, ada yang hendak kukatakan pada ibuku”. Si guru memberi izin, Abu Yazid lalu pulang kerumah. Ibunya menyambut dengan kata-kata,”Thoifur, mengapa engkau sudah pulang ? Apakah engkau mendapat hadiah atau adakah sesuatu kejadian istimewa ?”. “Tidak” jawab Abu Yazid, “Pelajaranku sampai pada ayat dimana Allah memerintahkan agar aku berbakti kepada-Nya dan kepada engkau wahai ibu. Tetapi aku tak dapat mengurus dua rumah dalam waktu yang bersamaan. Ayat ini sangat menyusahkan hatiku. Maka wahai ibu, mintalah diriku ini kepada Allah sehingga aku menjadi milikmu seorang atau serahkanlah aku kepada Allah semata sehingga aku dapat hidup untuk Dia semata”. “Anakku” jawab ibunya, “aku serahkan engkau kepada Allah dan kubebaskan engkau dari semua kewajibanmu terhadapku. Pergilah engkau menjadi hamba Allah. Di kemudian hari Abu Yazid berkata, “Kewajiban yang semula kukira sebagai kewajiban yang paling ringan, ternyata merupakan kewajiban yang paling utama. Yaitu kewajiban untuk berbakti kepada ibuku. Di dalam berbakti kepada ibuku, itulah kuperoleh segala sesuatu yang kucari, yakni segala sesuatu yang hanya bisa dipahami lewat tindakan disiplin diri dan pengabdian kepada Allah. Kejadiannya adalah sebagai berikut : Pada suatu malam, ibu meminta air kepadaku. Maka akupun mengambilnya, ternyata didalam tempayan kami tak ada air. Kulihat dalam kendi, tetapi kendi itupun kosong. Oleh kerana itu, aku pergi kesungai lalu mengisi kendi tersebut dengan air. Ketika aku pulang, ternyata ibuku sudah tertidur”. Malam itu udara terasa dingin. Kendi itu tetap dalam rangkulanku. Ketika ibu terjaga, ia meminum air yang kubawa kemudian mendoakanku. Waktu itu terlihatlah olehku betapa kendi itu telah membuat tanganku kaku. “Mengapa engkau tetap memegang kendi itu ?” ibuku bertanya. “Aku takut ibu terjaga sedang aku sendiri terlena”, jawabku. Kemudian ibu berkata kepadaku, “Biarkan saja pintu itu setengah terbuka”. Sepanjang malam aku berjaga-jaga agar pintu itu tetap dalam keadaan setengah terbuka dan agar aku tidak melalaikan perintah ibuku. Hingga akhirnya fajar terlihat lewat pintu, begitulah yang sering kulakukan berkali-kali”. Abu Zayid melakukan disiplin diri dengan terus menerus dan berpuasa di siang hari dan bertirakat sepanjang malam. Ia belajar di bawah bimbingan seratus tiga belas guru spiritual dan telah memperoleh manfaat dari setiap pelajaran yang mereka berikan.


Makam Abu Yazid berdeketan Shahroud

Diantara guru-gurunya itu ada seorang yang bernama Shadiq. Ketika Abu Yazid sedang duduk dihadapannya, tiba-tiba Shadiq berkata kepadanya,”Abu Yazid, ambilkan buku yang di jendela itu”.”Jendela? Jendela yang mana?”, tanya Abu Yazid.”Telah sekian lama engkau belajar di sini dan tidak pernah melihat jendela itu?”"Tidak”, jawab Abu Yazid, “apakah peduliku dengan jendela. Ketika menghadapmu, mataku tertutup terhadap hal-hal lain. Aku tidak datang kesini untuk melihat segala sesuatu yang ada di sini”.”Jika demikian”, kata si guru,” kembalilah ke Bustham. Pelajaranmu telah selesai”.

Abu Yazid mendengar bahawa di suatu tempat ada seorang guru besar. Dari jauh Abu Yazid datang untuk menemuinya. Ketika sudah dekat, Abu Yazid menyaksikan betapa guru yang termasyhur itu meludah ke arah kota Makkah (diertikan menghina kota Makkah), kerana itu segera ia memutar langkahnya.”Jika ia memang telah memperoleh semua kemajuan itu dari jalan Allah”, Abu Yazid berkata mengenai guru tadi,”niscaya ia tidak akan melanggar hukum seperti yang dilakukannya”. Diriwayatkan bahwa rumah Abu Yazid hanya berjarak empat puluh langkah dari sebuah masjid, ia tidak pernah meludah ke arah jalan dan menghormati masjid itu. Setiap kali Abu Yazid tiba di depan sebuah masjid, beberapa saat lamanya ia akan berdiri terpaku dan menangis.”Mengapa engkau selalu berlaku demikian ?” tanya salah seseorang kepadanya. “Aku merasa diriku sebagai seorang wanita yang sedang haid. Aku merasa malu untuk masuk dan mengotori masjid”, jawabnya. (Lihatlah do’a Nabi Adam atau do’a Nabi Yunus a.s “Laa ilaha ila anta Subhanaka inni kuntum minadholimin”, Tidak ada tuhan melainkan engkau ya Allah, sesungguhnya aku ini termasuk orang-orang yang zalim. Atau lihat doa Abunawas,’Ya Allah kalau Engkau masukkan aku ke dalam syurga, rasanya tidaklah pantas aku berada di dalamnya. Tetapi kalau aku Engkau masukkan ke dalam neraka, aku tidak akan tahan, aku tidak akan kuat ya Allah, maka terimalah saja taubatku’.

Suatu ketika Abu Yazid di dalam perjalanan, ia membawa seekor unta sebagai tunggangan dan pemikul perbekalannya.”Binatang yang malang, betapa berat beban yang engkau tanggung. Sungguh kejam!”, seseorang berseru. Setelah beberapa kali mendengar seruan ini, akhirnya Abu Yazid menjawab, “Wahai anak muda, sebenarnya bukan unta ini yang memikul beban”. Kemudian si pemuda meneliti apakah beban itu benar-benar berada diatas punggung unta tersebut. Barulah ia percaya setelah melihat beban itu mengambang satu jengkal di atas punggung unta dan binatang itu sedikitpun tidak memikul beban tersebut. “Maha besar Allah, benar-benar menakjubkan!”, seru si pemuda.”Jika kusembunyikan kenyataan yang sebenarnya mengenai diriku, engkau akan melontarkan celaan kepadaku”, kata Abu Yazid kepadanya. “Tetapi jika kujelaskan kenyataan itu kepadamu, engkau tidak dapat memahaminya. Bagaimana seharusnya sikapku kepadamu?”

MI’ROJ Abu Yazid berkisah, “Dengan tatapan yang pasti aku memandang Allah setelah Dia membebaskan diriku dari semua makhluk-Nya, menerangi diriku dengan Cahaya-Nya, membukakan keajaiban-keajaiban rahsia-Nya dan menunjukkan kebesaran-Nya kepadaku. Setelah menatap Allah aku pun memandang diriku sendiri dan merenungi rahsia serta hakekat diri ini. Cahaya diriku adalah kegelapan jika dibandingkan dengan Cahaya-Nya, kebesaran diriku sangat kecil jika dibandingkan dengan kebesaran-Nya, kemuliaan diriku hanyalah kesombongan yang sia-sia jika dibandingkan dengan kemuliaan-Nya. Di dalam Allah segalanya suci sedang didalam diriku segalanya kotor dan cemar. Bila kurenungi kembali, maka tahulah aku bahwa aku hidup kerana cahaya Allah. Aku menyadari kemuliaan diriku bersumber dari kemuliaan dan kebesaran-Nya. Apapun yang telah kulakukan, hanya kerana kemaha kuasaan-Nya. Apapun yang telah terlihat oleh mata lahirku, sebenarnya melalui Dia. Aku memandang dengan mata keadilan dan realiti. Segala kebaktianku bersumber dari Allah, bukan dari diriku sendiri, sedang selama ini aku beranggapan bahawa akulah yang berbakti kepada-Nya. Hiasilah diriku dengan ke-Esaan-Mu, sehingga apabila hamba-hamba-Mu memandangku yang terpandang oleh mereka adalah ciptaan-Mu. Dan mereka akan melihat Sang Pencipta mata, bukan diriku ini”. Keinginanku ini dikabulkan-Nya. Ditaruh-Nya mahkota kemurahan hati ke atas kepalaku dan Ia membantuku mengalahkan jasmaniku. Setelah itu, Dia berkata, “temuilah hamba-hamba-Ku itu”. Maka kulanjutkan pula pengembaraan yang tak berkesudahan di lautan tanpa tepi itu untuk beberapa lama, aku katakan, “Tidak ada seorang manusia pun yang pernah mencapai kemuliaan yang lebih tinggi daripada yang telah kucapai ini. Tidak mungkin ada tingkatan yang lebih tinggi daripada ini”. Tetapi ketika kutajamkan pandangan ternyata kepalaku masih berada di telapak kaki seorang Nabi.

Maka sedarlah aku, bahawa tingkat terakhir yang dapat dicapai oleh manusia-manusia suci hanyalah sebagai tingkatan awal dari kenabian. Mengenai tingkat terakhir dari kenabian tidak dapat kubayangkan. Kemudian Rohku menembus segala penjuru di dalam kerajaan Allah. Syurga dan neraka ditunjukkan kepada rohku itu tetapi ia tidak peduli. Apakah yang dapat menghadang dan membuatnya peduli ?. Semua sukma yang bukan Nabi yang ditemuinya tidak dipedulikannya. Ketika ruhku mencapai sukma manusia kesayangan Allah, Nabi Muhammad SAW, terlihatlah olehku seratus ribu lautan api yang tiada bertepi dan seribu tirai cahaya. Seandainya kujejakkan kaki ke dalam lautan api yang pertama itu, niscaya aku hangus binasa. Aku sedemikian gentar dan bingung sehinga aku menjadi sirna. Tetapi betapa pun besar keinginanku, aku tidak berani memandang tiang perkemahan Muhammad Rasulullah Saw. Walaupun aku telah berjumpa dengan Allah, tetapi aku tidak berani berjumpa dengan Muhammad Rasulullah Saw. Kemudian Abu Yazid berkata, “Ya Allah, segala sesuatu yang telah terlihat olehku adalah aku sendiri. Bagiku tiada jalan yang menuju kepada-Mu selama aku ini masih ada. Aku tidak dapat menembus keakuan ini, apakah yang harus kulakukan?” Maka terdengarlah perintah, “Untuk melepas keakuanmu itu ikutilah kekasih Kami, Muhammad Saw. Usaplah matamu dengan debu kakinya dan ikutilah jejaknya. Maka terjunlah aku ke dalam lautan api yang tak bertepi dan kutenggelamkan diriku kedalam tirai-tirai cahaya yang mengelilingi Muhammad Rasululah Saw. Dan kemudian tak kulihat diriku sendiri, yang kulihat Muhammad Rasulullah Saw. Aku terdampar dan kulihat Abu Yazid berkata,” aku adalah debu kaki Muhammad, maka aku akan mengikuti jejak beliau Saw. Suatu hari Abu Yazid berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Abu Yazid menyingkir kepinggir untuk memberi jalan kepada binatang itu. Salah seorang murid tidak menyetujui perbuatan Abu Yazid ini dan berkata,” Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Abu Yazid adalah “Raja diantara kaum mistik”, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing. Apakah pantas perbuatan seperti itu ?” Abu Yazid menjawab,” Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku, ‘Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja diantara para mistik?’. Begitulah yang sampai dalam pikiranku dan kerana itulah aku memberi jalan kepadanya”. Ada seorang pertapa di antara tokoh suci terkenal di Bustham yang mempunyai banyak pengikut dan pengagum, tetapi ia sendiri senantiasa mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Abu Yazid. Dengan tekun ia mendengarkan ceramah-ceramah Abu Yazid dan duduk bersama sahabat-sahabat beliau. Pada suatu hari berkatalah ia kepada Abu Yazid, “pada hari ini genap tiga puluh tahun lamanya aku berpuasa dan memanjatkan do’a sepanjang malam sehingga aku tidak pernah tidur. Namun pengetahuan yang engkau sampaikan ini belum pernah menyentuh hatiku. Walau demikian aku percaya kepada pengetahuan itu dan senang mendengarkan ceramah-ceramahmu”. Abu Yazid berkata “Walaupun engkau berpuasa siang malam selama tiga ratus tahun, sedikitpun dari ceramahku ini tidak akan dapat engkau hayati”. “Mengapa demikian ?”, tanya si murid. “Kerana matamu tertutup oleh dirimu sendiri”, jawab Abu Yazid. “Apakah yang harus kulakukan ?”, tanya si murid pula. “Jika kukatakan, pasti engkau tidak mahu menerimanya”, jawab Abu Yazid. “Akan kuterima !. Katakanlah kepadaku agar kulakukan seperti yang engkau petuakan”. “Baiklah!”, jawab Abu Yazid. “Sekarang ini juga, cukurlah janggut dan rambutmu. Tanggalkan pakaian yang sedang engkau kenakan dan gantilah dengan cawat yang terbuat dari bulu domba. Gantungkan sebungkus kacang dilehermu, kemudian pergilah ke tempat ramai. Kumpulkan anak-anak sebanyak mungkin dan katakan pada mereka,”Akan kuberikan sebutir kacang kepada setiap orang yang menampar kepalaku”. Dengan cara yang sama pergilah berkeliling kota, terutama sekali ke tempat dimana orang-orang sudah mengenalmu. Itulah yang harus engkau lakukan”. “Maha besar Allah! Tiada Tuhan kecuali Allah”, cetus si murid setelah mendengar kata-kata Abu Yazid itu. “Jika seorang kafir mengucapkan kata-kata itu niscaya ia menjadi seorang Muslim”, kata Abu Yazid. “Tetapi dengan mengucapkan kata-kata yang sama engkau telah mempersekutukan Allah”. “Mengapa begitu ?”, tanya si murid. “Kerana engkau merasa bahawa dirimu terlalu mulia untuk berbuat seperti yang telah kukatakan tadi. Kemudian engkau mencetuskan kata-kata tadi untuk menunjukkan bahawa engkau adalah seorang penting, dan bukan untuk memuliakan Allah. Dengan demikian bukankah engkau telah mempersekutukan Allah ?”. “Saranan-sarananmu tadi tidak dapat kulaksanakan. Berikanlah saranan yang lain”, si murid keberatan. “Hanya itu yang dapat kusarankan”, Abu Yazid menegaskan. “Aku tak sanggup melaksanakannya”, si murid mengulangi kata-katanya. “Bukankah telah aku katakan bahawa engkau tidak akan sanggup untuk melaksanakannya dan engkau tidak akan menuruti kata-kataku”, kata Abu Yazid. (Besi mesti dipanasi untuk dijadikan pedang, batu kotor mesti digosok supaya jadi berlian. “Gosoklah berlian imanmu dengan Laa illaha ilAllah”. ‘Jadidu Imanakum bi Laa illaha ilAllah’). “Engkau dapat berjalan di atas air”, orang-orang berkata kepada Abu Yazid. “Sepotong kayu pun dapat melakukan hal itu”, jawab Abu Yazid. “Engkau dapat terbang di angkasa”. “Seekor burung pun dapat melakukan itu”. “Engkau dapat pergi ke Ka’bah dalam satu malam”. ” Setiap orang sakti dapat melakukan perjalanan dari India ke Demavand dalam satu malam”. “Jika demikian apakah yang harus dilakukan oleh manusia-manusia sejati ?”, mereka bertanya kepada Abu Yazid. Abu Yazid menjawab, “Seorang manusia sejati tidak akan menautkan hatinya kepada selain Allah Swt. Sedemikian khusyuknya Abu Yazid dalam berbakti kepada Allah, sehingga setiap hari apabila ditegur oleh muridnya, yang senantiasa menyertainya selama 20 tahun, ia akan bertanya,” Anakku, siapakah namamu ?” Suatu ketika si murid berkata pada Abu Yazid,”Guru, apakah engkau memperolok-olokkanku. Telah 20 tahun aku mengabdi kepadamu, tetapi, setiap hari engkau menanyakan namaku”. “Anakku”, Abu Yazid menjawab,”aku tidak memperolok-olokkanmu. Tetapi nama-Nya telah memenuhi hatiku dan telah menyisihkan nama-nama yang lain. Setiap kali aku mendengar sebuah nama yang lain, segeralah nama itu terlupakan olehku”. Abu Yazid mengisahkan : Suatu hari ketika sedang duduk-duduk, datanglah sebuah fikiran ke dalam benakku bahawa aku adalah Syaikh dan tokoh suci zaman ini. Tetapi begitu hal itu terpikirkan olehku, aku segera sedar bahawa aku telah melakukan dosa besar. Aku lalu bangkit dan berangkat ke Khurazan. Di sebuah persinggahan aku berhenti dan bersumpah tidak akan meninggalkan tempat itu sebelum Allah mengutus seseorang untuk membukakan hatiku. Tiga hari tiga malam aku tinggal di persinggahan itu. Pada hari yang ke empat kulihat seseorang yang bermata satu dengan menunggang seekor unta sedang datang ke tempat persinggahan itu. Setelah mengamati dengan seksama, terlihat oleh ku tanda-tanda kesadaran Ilahi di dalam dirinya. Aku mengisyaratkan agar unta itu berhenti lalu unta itu segera menekukkan kaki-kaki depannya. Lelaki bermata satu itu memandangiku. “Sejauh ni engkau memanggilku”, katanya,” hanya untuk membukakan mata yang tertutup dan membukakan pintu yang terkunci serta untuk menenggelamkan penduduk Bustham bersama Abu Yazid?”"Aku jatuh lunglai. Kemudian aku bertanya kepada orang itu,”Dari manakah engkau datang?” “Sejak engkau bersumpah itu telah beribu-ribu batu yang kutempuh”, kemudian ia menambahkan,”berhati-hatilah Abu Yazid, Jagalah hatimu!”Setelah berkata demikian ia berpaling dariku dan meninggalkan tempat itu. Menolak mereka hanya kerana keingkaran mereka. Segala sesuatu yang kulakukan hanyalah debu. Kepada setiap perbuatanku yang tidak berkenan kepada-Mu limpahkanlah ampunan-Mu. Basuhlah debu keingkaran dari dalam diriku kerana akupun telah membasuh debu kelancangan kerana mengaku telah mematuhi-Mu. Kemudian Abu Yazid menghembuskan nafas terakhirnya dengan menyebut nama Allah pada tahun 261 H /874 M.

wassalam

Syeikh Abdul Qadir Jilani Sultan Aulia


Sejarah ringkas Syeikh Abdul Qadir Jilani.

Nama beliau dan keturunan sebelah ayah.

Mahyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir Al Jilani bin Abu Saleh Musa bin Abdullah bin Yahya Al Jahid bin Al Imam Muhammad bin Al Imam Daud bin Al Imam Musa bin Al Imam Abdullah bin Al Imam Musa Al Jaun bin Al Imam Abdullah Al Mohd (lebih dikenali sebagai Al Majl) bin Al Imam Hassan alMuthni bin Al Imam Al Hassan Al Bast bin Al Imam AmirulMukmin ‘Ali bin Abu Talib, KarramAllahu wajhah.

Keturunan dari sebelah ibunya

Nama ibunya Fatimah binti Al Imam Abdullah bin Mahmud bin Kamaludin Isa bin Jamaluddin bin Al Imam Abdullah Al Sauma’i (lebih dikenali Al Zahid) bin Sayyidina Ali Zainal ‘Abidin bin Al Imam Al Hussein bin Al Imam ‘Ali bin Abu Talib, saudara Al Mustafa(s.a.w.) yang berkahwin dengan Fatimah Az Zahra Al Batul.

Beliau mendapat penggilan Al Jalani daripada Jilan, sebuah wilayah merdeka dari Negara Tabristan juga dikenali sebagai Kilan.

Abdul Qadir dilahirkan disini pada tahun 470H dan beliau kembali kerahmatullah pada 671H pada malam Sabtu , 10 Rabi’awal pada umur 91 tahun. Beliau dimakamkan diserambi madrasahnya. Nasaruddin mengkebumikan beliau pada paginya sambil membacakan Qasidah yang berbunyi “ Kesedihan (merujuk kepada kematian) pada pagi ini merupakan kekalahan Jilani, dimana beliau merupakan sumber makrifah yang terkenal”

Penampilan Abdul Qadir.

Al Imam Muwafik Al Din Abu Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al Muqaddisi berkata, “Shaykh Al Islam Al Shaykh Mahyuddin Abu Muhammad Abdul Qadir alJilani r.a. Merupakan seorang yang kurus dan tinggi dan berupa baik dengan bulu keningnya bercantum. Suara beliau nyaring dan beliau berpengetahuan luas.

Rumah yang dimana beliau dibesarkan dikenali sebagai Rumah Kemuliaan dan Pengetahuan. Ini kerana keturunan beliau dari ayah dan ibunya merupakan golongan yang berilmu dan berkedudukan. Penduduk setempat juga menggelarkan rumah tersebut rumah yang mulia.

Tidak salah jika Abd Qadir dibesarkan sejak kecil disitu dan menghafal Al Quran sejak kecil dan sehinggalah pada umur beliau 18 tahun, beliau mula merantau ke Baghdad pada tahun 488H. Pemergian beliau adalah untuk menambahkan ilmu beliau pada jalan Allah seperti yang difimankan Allah dlm surah Nisa ayat 100.

Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Abdul Qadir mengikut jejak langkah keturunannya yang juga dikenali sebagai keluarga Ilmuwan dan beiman demi mencapai cita-citanya menjadi seorang yang adil dan mulia disisi Allah dan Umat Islam.

Allah berfirman: Surah At Thur ayat 21:

Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka[1426], dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Abdul Qadir merupakan seorang insane yang terpelihara oleh Allah. Ini dapat dibuktikan dari cerita masyarakat sekeliling. Semasa muda beliau berkerja sebagai petani. Pada suatu hari, semasa beliau sedang membajak tanah menggunakan seekor lembu, tiba-tiba lembut tersebut memalingkan mukanya kearah beliau dan berkata ”Oh Abdul Qadir, Allah tidak menciptakan kamu untuk kerja ini”

Dari sumber yang lain pula menyatakan, Abdul Qadir memanjat keatas atap rumahnya dan melihat fenomena luar biasa iaitu jemaah Haji berkumpul di Arafah, dan jemaah lagi satu pula sedang mengelilingi Ka’abah.

Kedua-dua kejadian itu membuatkan beliau berasa takut dan terkejut. Beliau memberitahu pada ibunya dan ibunya berkata “ Ini membuktikan bahawa Allah telah memilih mu untuk diberi pengetahuan”

Selepas kejadian tersebut Abdul Qadir berhasrat untuk ke Baghdad dengan tujuan untuk mendalami lagi ilmu pengetahuan dengan para-para Ulama disana. Ini kerana pada ketika itu Baghdad merupakan pusat Ilmu dunia.

Sebelum berangkat ke Baghdad, Abdul Qadir meminta kebenaran dari ibunya agar Allah sentiasa disampingnya dalam usahanya. Ibunya menjaminkan beliau akan keselamatan dengan syarat beliau hendaklah sentiasa bercakap benar dan tidak sesekali menipu.

Dan dalam perjalanan beliau ke Baghdad, sekumpulan perompak telah datang kepada beliau, dan menanyakan kepada beliau, berapa wang yang Abdul Qadir ada. Abdul Qadir menjawab dengan jujur seperti mana yang telah dinasihatkan oleh ibunya. Beliau menyatakan jumlah wang yang ada didalam poketnya. Akibat dari kejujurannya itu, perompak berkenaan berasa sedih dan bertaubat atas perbuatannya itu. Perompak itu bertanya pada Abdul Qadir, mengapa beliau berkata benar sedangkan beliau tahu akan dirompak. Lalu Abdul Qadir menceritakan halnya bersama ibunya yang beliau telah berjanji atas nama Allah pada ibunya yang beliau akan bercakap benar dan jujur. Perompak tersebut merasa hairan dan takjub atas kejujuran Abdul Qadir menjaga janjinya dengan usianya yang semuda itu, manakala perompak itu memikirkan hal dirinya yang telah sekian lama hidup merompak dan bercanggah dengan Islam.

Firman Allah Surah At Taubah ayat 119:

Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.

Abdul Qadir meneruskan perjalannannya dan sampai di Baghdad pada tahun 488H dan memulakan pengajian beliau dengan ulama-ulama dan orang-orang saleh.

Kesimpulannya

Syaikh Abdul Qadir Jilani dibesarkan dengan baik. Beliau merupaka seorang yang alim, jujur, ikhlas dan benar. Kesemua nilai-nilai ini menjadi simbol kepada Tareqat Qadariah yang terus menerus berkembang hasil usaha dari pengesasnya iaitu Syaikh Abdul Qadir Jilani dan tareqat ini berdasarkan pengalaman peribadi beliau tentang Islam, Iman, dan Ihsan. Ini akan mengajar kita tentang Ikhlas, Wara’ , Zuhud, Taqwa, penyerahan diri sendiri, ketabahan, kehambaan kepada Allah, mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhkan diri dari syaitan, menghayati kitab syariah, membersihkan hati daripada perkara yang memusnahkannya, membersihkan kata-kata, sentiasa membuat suruhan Allah atas sebab untuk mencari keredhaannya, bersungguh-sungguh dalam menentang kehendak nafsu, dan mengamalkan perbuatan yang mulia.

Kesemua cara ini disuruh oleh Abdul Qadir, dimana beliau adalah pendokong jalan Tasawuf yang bermakna juga beliau merupakan seorang pengajar. Didalam kitabnya, Abdul Qadir menggunakan perubahan dalam menyampaikan perbezaan hamba dan kehendak nafsu.

Photobucket

Photobucket
Makam Syeikh Abdul QadirJilani

wassalam

Tuan Shaykh Sayyid Muhammad bin Ahmad ad-Dandarawi – (1813-1874) radhiAllahu 'anhu

Tuan Shaykh Sayyid Muhammad ad-Dandarawi radhiAllahu 'anhu telah dilahirkan di kawasan Dandara, Sa’id yang terletak di Mesir.

Beliau adalah antara murid-murid Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim ar-Rashid radhiAllahu 'anhu. Selain menerima ijazah Tariqah Ahmadiah daripada guru sufinya iatu Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim radhiAllahu 'anhu, beliau juga mewarisi segala akhlak, ilmu dan rahsia-rahsia gurunya itu.Beliau juga mempunyai keazaman yang tinggi iaitu ingin menyebarkan ajaran Tariqah Ahmadiah tidak hanya di sekitar tanah Arab sahaja malah meliputi daerah daerah yang lebih jauh seperti India, Benua Afrika dan Asia Tenggara.

Sebagaimana pengasas Tariqah Ahmadiah yang lain, Tuan Shaykh Sayyid Muhammad radhiAllahu 'anhu juga adalah orang yang mendapat penghormatan berhimpun secara perhimpunan suri dengan Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam. Beliau telah mendapat beberapa amalan dzikir yang tiada dapat oleh kedua orang gurunya itu. Di antara amalan-amalan tambahan ini adalah mentalqinkan orang yang hendak masuk Tariqah Ahmadiah dengan lafaz “La ilaha ilallahu wallahu akbar” sebanyak 4 kali.Lafaz ini thabit kelebihannya di dalam hadith yang sahih.

Maka dengan itu, tambahlah nisbah tariqah ini dengan nama at-Tariqah al-Ahmadiah ar-Rashidiah al-Dandarawiah mengikut nama pengasas tariqah Al-Qutb Ar-Rais Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris radhiAllahu 'anhu dan kedua guru Qutb yang menyusulinya. Dengan Tuan Shaykh Sayyid Muhammad al-Dandarawi radhiAllahu 'anhu, tamat-lah kepimpinan asas Tariqah Ahmadiah. Allah yang Maha Benar telah meletakkan tariqah ini di tempat yang tinggi dengan dalil yang teguh di mana boleh dilihat dari segala sudut.

Tidak ada guru yang mursyid bagi orang yang beramal dan mengikut Tariqah Ahmadiah selain daripada Tuan Shaykh Sayyid Muhammad ad-Dandarawi radhiAllahu 'anhu walaupun ia sudah wafat. Hal ini sebagaimana telah disebutkan oleh beliau sendiri, “Aku gurumu semasa aku hidup dan mati.” Ini bererti walaupun sudah wafat, namun pertalian di antara guru yang sudah wafat dengan murid-murid yang masih hidup tetap ada.

Tuan Shaykh Sayyid Muhammad bin Ahmad ad-Dandarawi radhiAllahu 'anhu telah meninggal dunia di al-Madinah al-Munawwarah pada tanggal 29 Muharram tahun 1909 Masihi (1327 H).

wassalam

Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim ar-Rashid – (1813-1874) radhiAllahu 'anhu

Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim Al-Rashid radhiAllahu 'anhu telah dilahirkan pada pertengahan Rejab tahun 1813 Masihi (1228 H) di waliyah Duwaih Sudan. (berhampiran dengan al-Khourtum)

Nama penuh beliau adalah Ibrahim ibn Soleh al-Qahnibi ibn Abdur Rahman Qalubah ibn Muhammad ibn Haj ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Uwais ibn Muhammad ibn Bisyarah ibn Habib ibn Duwaih ibn Sultan ibn Ghulamullah al-Akbar ibn Maqbul ibn ‘Abdul ibn al-Imam al-Hammam Ahmad al-Zaila’I ibn ‘Umar al-Haddad ibn Muslim ibn Saiyidina ‘Aqil ibn Abu Talib (abang kepada Saiyidina ‘Ali ibn Abu Talib) radhiAllahu 'anhu. Gelaran Ar-Rashid itu diberikan kepada beliau kerana beliau telah dikurniakan Allah keistimewaan menjadi ulama dan mengetahui segala ilmu haqaid, padahal umurnya masih muda lagi.

Beliau telah tinggal di Sabya selama 5 tahun dan 5 bulan untuk belajar dan berkhidmat kepada Tuan Shaykh Sayyid Ahmad ibn Idris radhiAllahu 'anhu. Beliau merupakan salah satu murid al-Imam Tuan Shaykh Sayyid Ahmad Idris radhiAllahu 'anhu yang termuda. Hubungan beliau dengan Tuan Shaykh Sayyid Ahmad ibn Idris radhiAllahu 'anhu dikatakan sangat rapat dan istimewa. Dikatakan bahawa Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris radhiAllahu 'anhu wafat dalam keadaan kepalanya terletak di atas lutut Sayyid Ibrahim Ar-Rashid radhiAllahu 'anhu (adapun dikatakan peha atau dada menurut sesetengah riwayat yg lain). Maka setelah wafat Tuan Shaykh Sayyid Ahmad ibn Idris radhiAllahu 'anhu, tampil-lah Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim ar-Rashid radhiAllahu 'anhu mewarisi tempatnya pengasas Tariqah Ahmadiah. Beliau mempunyai segala kelakuan dan rahsia tariqah ini.

Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim radhiAllahu 'anhu juga mendapat nikmat penghormatan berhimpun dengan Rasulullah s.a.w. Dalam pertemuan itu, Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim radhiAllahu 'anhu telah menerima beberapa amalan dzikir daripada Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam. Maka apa-apa amalan Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim radhiAllahu 'anhu yang tidak ada pada Tuan Shaykh Sayyid Ahmad ibn Idris radhiAllahu 'anhu, adalah merupakan perjalanan Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim radhiAllahu 'anhu yang telah menerima amalan-amalan itu daripada Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam tanpa perantaraan. Maka bertambahlah nisbah tariqah ini dengan At-Tariqah Al-Ahmadiah Ar-Rashidiah.

Al-Qutb al-Wahid Tuan Shaykh Sayyid Ibrahim al-Rashid radhiAllahu 'anhu wafat ketika berusia 63 tahun pada hari Ahad selepas ‘Asr pada tanggal 9 Syaaban 1874 Masihi (1291 H). [5] Beliau telah dikebumikan pada malam 10 Syabaan di kawasan perkuburan Ma’la di Makkah setelah disembahyangkan di Masjidil Haram.






wassalam

Tuan Shaykh Sayyid Ahmad Bin Idris – (1757-1835) radhiAllahu 'anhu

Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris radhiAllahu 'anhu dilahirkan di Maisur iaitu sebuah perkampungan di dalam daerah ‘Arayish, yang terletak di kota Fez (Morocco) pada bulan Rejab tahun 1163 H (1749-50 Masihi). Namun ada riwayat pula yang menyebut bahawa beliau dilahirkan pada tahun 1172H (1757-58 Masihi).

Nama penuh beliau adalah Tuan Shaykh Sayyid Ahmad ibn Idris ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Abdullah ibn Ibrahim ibn Umar ibn Ahmad ibn ‘Abdul Jabbar ibn Muhammad ibn Yamluh ibn Masyish ibn Abu Bakar ibn ‘Ali ibn Hurmah ibn ‘Isa ibn Salam ibn Marwan ibn Haidarah ibn Muhammad ibn Idris al-Asghar ibn Idris al-Akbar ibn ‘Abdullah al-Kamil ibn al-Hassan al-Muthanna ibn Saiyyidina Hassan al-Sibt ibn Saiyyidina ‘Ali dan Saiyyidatina Fatimah al-Zahra’ binti Habibuna Saiyyidina Muhammad Rasulullah shallAllahu 'alaihi wasallam . Beliau merupakan ahli keluarga Syarif Hasani Idrisi yang masyhur di Morocco kerana keturunan Imam Idris ibn ‘Abdullah al-Mahd pernah mempunyai kerajaan dinasti di Fez (788-974).

Pada pandangan ahli sufi, Tuan Shaykh Sayyid Ahmad bin Idris radhiAllahu 'anhu dianggap sebagai seorang wali yang telah mencapai maqam Qutub iaitu martabat yang tertinggi dalam pimpinan kaum sufi dan juga dikatakan meraih maqam Sultan Salatin al-Awliya. Selain daripada itu, beliau juga terkenal sebagai seorang ulama pembaharu (mujadid). Beliau telah banyak menggembara dan berdakwah di jalan Allah serta menyebarkan ajaran Tariqahnya ke merata tempat hingga ke Makkah, Madinah, Mesir, Sudan, Yaman, etc.

Beliau telah wafat pada malam Sabtu di antara waktu Maghrib dan Isya’ pada tanggal 21 Rejab. Anak muridnya Saiyyid al-Soleh Ahmad Uthman al-‘Uqaili dilantik untuk memandikannya dan jenazah beliau telah disembahyangkan oleh al-‘Allamah al-Wali Saiyyid Yahya ibn Muhsin al-Ni’ami al-Hasani radhiAllahu 'anhu. Beliau dikebumikan pada pagi itu, 21 Rejab 1837 Masihi (1253 H) di Sabya. Kota Sabya yang pada masa itu berada di Tanah Yaman, namun sekarang adalah di bawah kuasa Kerajaan Saudi.

wassalam

Wednesday, October 22, 2008

Tuan Guru Haji Mamat Merbau Patah


Tuan Guru Haji Mamat Merbau Patah

Nama penuh beliau, Haji Mamat @ Mohamad bin Osman, berasal dari Sungai Derhaka, Kuala Terengganu. Dari keturunan orang-orang alim. Dalam usia 13 tahun beliau sudah boleh membaca khutbah.

Mendapat pendidikan awal di Pondok Losong Haji Mat Syafie, kemudian pergi ke Kelantan berniaga sambil belajar. Beliau selalu mengadakan muzakarah dengan guru-guru di sana. Kecenderungannya kepada ilmu Tasauf sangat kuat.

Kemudian Tuan Guru Haji Mamat beruzlah di Mekah selama enam bulan. Selepas kembali ke tanahair, beliau bermimpi berada di bawah sepohon kayu yang terletak di atas tanah yang tinggi dan di situlah beliau mendapat pelbagai ilmu.

Beliau memulakan kuliahnya di kampung isterinya, Merbau Patah, Kuala Terenganu. Ketika itu, masyarakat di situ sangat berpegang kuat kepada kepercayaan syirik mengenai ‘acak’. Melalui pengajaran kitab Tauhid, akhirnya beliau berjaya menyedarkan masyarakat mengenai bahaya kepercayaan tersebut dan mengembalikan mereka kepada konsep Tauhid yang sebenar di sisi Allah. Keilmuan beliau mula tersebar ke merata tempat. Orang-orang yang mendengar pengajarannya datang dari seluruh pelusuk Malaysia.

Tuan Guru Haji Mamat adalah seorang yang alim dalam ilmu tasauf. Syarahannya dalam menghuraikan kitab Minhajul Abidin dan Al-Hikam Tok Pulau Manis adalah sangat mendalam. Beliau memperolehi ilmu secara laduni. Setiap kali mengajar kitab Al-Hikam, beliau memberitahu seolah-olah beliau berada di lautan dan nampak laut dikepalanya. Kupasannya sentiasa berbeza walaupun mensyarahkan matan yang sama. Setiap kali beliau mengajar, lautan manusia akan memenuhi madrasahnya.

Tuan Guru jarang keluar dari madrasahnya. Beliau banyak menghabiskan masa di dalam bilik khalwat yang kecil. Sangat kuat ibadah dan mujahadahnya. Pada jam 3 pagi, kami murid-muridnya dapat mendengar Tuan Guru bersolat dan berzikir.

Beliau amat warak dalam mengeluarkan perkataan terhadap seseorang, walaupun terang-terangan orang itu membawa perjalanan yang batil, malah pernah melemparkan kata-kata yang bukan-bukan terhadapnya.

Beliau juga dikurniakan beberapa kelebihan. Diceritakan pernah datang 2 orang dari Sungai Rengas yang bergaduh disebabkan masalah hutang piutang. Sipemiutang hutang mendakwa sipenghutang tidak membayar hutangnya sebanyak RM200, tetapi dinafikan oleh sipenghutang. Akhirnya Tuan Guru Haji Mamat mengambil duitnya dan memberinya kepada sipemiutang sebagai bayaran hutang sipenghutang. Dua bulan kemudian, sipemiutang datang semula dan mengatakan duit yang diberi Tuan Guru tidak boleh digunakan sesen pun kerana dimakan bubuk. Wallahu ‘alam..

Tuan Guru juga sangat pemurah. Jika ada orang ingin meminjam duit, beliau akan memberinya tanpa mengiranya sebagai hutang. Beliau selalu berpesan kepada anak-anak, kalau tak ada duit beritahu kepadanya, dan jangan berhutang dengan orang lain. Sebaliknya, kalau anak-anaknya memberinya duit, beliau menolaknya atau disuruhnya duit itu diberi kepada si ibu.

Tuan Guru tidak mengamalkan apa-apa tariqat, tetapi hanya mengamalkan aurad biasa lepas sembahyang. Walaupun tidak menolak tariqat tetapi beliau memberitahu penulis bahawa terlalu banyak kesalahan malah kesesatan berlaku dalam pengamalan tariqat sekarang. Katanya, tasauf bukannya pada zikir, bukannya pada salasilah, bukannya pada ibadah yang banyak, bukannya suluk, bukannya mujahadah, tetapi hakikat tasauf ialah hidupnya jarum hati memandang hakikat KeTuhanan dalam setiap masa. Pandanglah segala dari Allah, dengan Allah dan kepada Allah, berpegang teguh dengan syariat dan hakikat serta memelihara diri dari yang haram, syubhat dan makruh.

Ketika saat kematiannya sudah hampir, beliau memberitahu anak-anak dan muridnya bahawa beliau mahu berjalan pada malam itu. Kemudian, beliau memanggil salah seorang anaknya dan berwasiat dengan dua perkara iaitu menjaga iman dan jangan bergaduh sesama ahli keluarga. Selepas solat Maghrib, beliau memejamkan matanya dengan lena. Pada malam itu, semua orang di madrasah tidak pulang ke rumah, mereka ramai-ramai membaca surah Yasin.

Menurut anaknya, kira-kira jam 3 pagi wajah Tuan Guru berubah kekuning-kuningan, wajahnya nampak segar dan tenang. Beliau akhirnya kembali menemui kekasihnya pada jam 4 pagi (tahun 1995). Sembahyang jenazah diimamkan oleh Tuan Guru Haji Hashim, mudir pondok Pasir Tumbuh dan semua murid jauh dan dekat turut datang mengiringi jenazah beliau buat kali terakhir. Kembalilah seorang ulama sufi menghadap kekasih yang dirinduinya, semoga Allah menempatkan ia dalam golongan mereka yang dimuliakan. Amin.

Photobucket
Madrasah Allahyarham Tuan Guru Haji Mamat Merbau Patah di jalan Kuala Berang.


Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas ulama paling berpengaruh di Terengganu

Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas ulama paling berpengaruh di Terengganu

TIDAK dapat dinafikan bahawa yang mewarnai corak keIslaman di Terengganu mulai peringkat awal hingga abad ke-20, terdiri daripada dua golongan ulama atau penyebar Islam. Golongan itu ialah, pertama: Berasal daripada ulama-ulama Patani, dan kedua: Daripada keturunan Rasulullah s.a.w. atau golongan `sayid'. Di antara ulama yang paling besar pengaruhnya di Terengganu ialah Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahim al-Fathani atau Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas, Terengganu.

PENDIDIKAN

Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahim mendapat pendidikan asas di beberapa pondok pengajian di Patani. Walaupun ditinjau dari segi pangkat, nasab beliau adalah peringkat datuk saudara kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani, namun ditinjau dari segi umur pula Abdul Qadir lebih muda daripada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Menurut riwayat, Abdul Qadir dan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani pernah sama-sama belajar dalam sebuah pondok, sama ada di pondok Kuala Bekah (Patani) mahu pun di pondok-pondok lainnya. Bahkan pernah sama-sama belajar di Mekah. Dalam riwayat yang lain pula menyebut bahawa Syeikh Abdul Qadir pernah belajar kepada Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani. Jadi beliau termasuk peringkat murid kepada Syeikh Daud Abdullah al-Fathani. Ketika beliau melanjutkan pelajaran ke Mekah, beliau berguru kepada Syeikh Muhammad Shalih bin Abdur Rahman Pauh Bok al-Fathani, Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaludin Aceh. Kepada ulama-ulama Arab pula beliau belajar di antaranya kepada Syeikh Muhammad Shalih bin Ibrahim, Mufti Syafi'ie di Mekah, Syeikh Ahmad al-Marzuqi dan lain-lain. Setelah memperoleh ilmu pengetahuan dalam pelbagai bidang di Mekah dan Madinah, beliau turun ke Jawi. Pertama kali ke sana beliau tidak langsung ke negeri asalnya Patani, tetapi beliau ke Pulau Duyung, Terengganu. Langkah itu diambilnya kerana di Pulau Duyung Kecil, Terengganu itu ahli keluarganya lebih ramai dan lebih dekat daripada di Patani sendiri. Di Pulau Duyung Kecil, Terengganu beliau memulakan aktivitinya sebagai seorang ulama.

AKTIVITI

Syeikh Abdul Qadir mulai mengorak langkah di mana sahaja beliau pergi dalam negeri Terengganu beliau memperkenalkan ajaran Islam menurut Mazhab Syafie dan iktikad Ahlus Sunnah wal Jamaah. Beliau merancang membuka sebuah institusi semacam pondok di Patani, kerana pada zaman itu pengajian pondok memang di Patani yang paling terkenal di rantau ini. Sama ada di Terengganu mahupun di tempat-tempat lainnya, pengajian pondok tidaklah sekukuh seperti di Patani sendiri. Apabila rancangannya itu telah mantap, beliau pulang ke Patani dengan tujuan mendapatkan rancangan kerja yang lebih mantap atau konteks kerjasama dalam dunia pendidikan pondok dengan beberapa orang Tok Guru mahu pun ahli keluarga beliau yang menjadi ulama yang memimpin pondok di Patani. Setelah sampai ke Patani, niat beliau tergendala kerana pada masa itu terjadi suatu peperangan besar antara Kedah-Patani terhadap pencerobohan bangsa Siam. Peperangan besar yang melibatkan beberapa orang tokoh ulama itu diikuti pula oleh Syeikh Abdul Qadir sendiri.
Pengajian pondok

Dipercayai beliau datang ke Pulau Duyung kali kedua ini sekitar tahun 1830an M. Ketika itu beliau mulai mengajar di Kampung Paya Bunga, Duyung. Syeikh Abdul Qadir mendirikan sebuah mesjid di Bukit Bayas. Di kedua-dua tempat itu beliau membina pengajian pondok menurut tradisi di Patani. Kemudian oleh sebab beliau memusatkan aktivitinya di Bukit Bayas, maka terkenallah namanya kemudian hari dengan gelaran Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas, pengganti kepada nama terkenal sebelumnya iaitu gelaran Syeikh Abdul Qadir Duyung (Tok Duyung sahaja).

PENULISAN

At-Targhib wat Tarhib li al-Bai'i wa Asy-Syira, diselesaikan waktu duha, hari Isnin, 2 Rabiulawal 1234 H, di negeri Terengganu. Kandungannya membicarakan tentang perniagaan menurut ajaran Islam, mengemukakan hujah-hujah berdasarkan al-Quran dan hadis mengenai terlarangnya memakan riba. Di antara salinan terbaik yang pernah ditemui ialah yang diselenggarakan oleh Mahmud ibnu Muhammad Yusuf Terengganu.

Setelah Basmalah, Hamdalah, Selawat dan Salam, pengarangnya Syeikh Abdul Qadir menyebut judul karya ini dalam bahasa Arab, iaitu Risalah fi Bayani Hukmil Bai'i war Riba. Judul terjemahan oleh pengarangnya dalam bahasa Melayu: Risalah Pada Menyatakan Hukum Jual Beli Dan Riba. Berdasarkan kenyataan ini bererti karya ini terdapat dua judul yang berbeza dalam bahasa Arab, iaitu judul yang satu lagi yang tertulis pada bahagian depan manuskrip ialah: At-Targhib wat Tarhib li al-Bai'i wa asy-Syira.

Sebagai keterangan tambahan keseluruhan kandungannya diringkaskan oleh beliau sendiri, dengan katanya ``Ditambahi sedikit daripada dalil dan hadis pada menyatakan seksa dan azab atas tiap-tiap orang yang memakan riba, dan orang yang mengurangkan sukatan dan timbangan, dan orang yang menzalim atas harta manusia.'' Sasaran karangan beliau nyatakan, "Supaya beroleh manfaat dengan dia oleh tiap-tiap orang yang membaca akan dia daripada segala orang yang berjual beli laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, muda dan tua.'' (hlm. 1).
Setelah itu pengarangnya memasuki perbincangan yang merupakan subjudul awalnya, ialah Asal Yang Mengharuskan Jual Beli Dan Haram Riba. Bahagian ini mengemukakan hujah-hujah daripada al-Quran dan hadis lengkap dengan perbandingan pendapat para ulama tentang pentafsirannya. Hadis yang pertama diperkenalkan terjemahan menurut Syeikh Abdul Qadir, "Bermula yang terlebih afdal usaha itu berjual beli yang baik, ertinya yang tiada tipu daya padanya dan tiada khianat, dan bekerja laki-laki dengan tangannya.''

Selanjutnya Syeikh Abdul Qadir memetik hadis- hadis yang lain, di antaranya yang dikeluarkan oleh Baihaqi daripada Muaz, hadis yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan Hakim daripada Ibnu Umar, hadis yang dikeluarkan oleh Ishbahani dan Dailami, dan banyak lagi hadis yang dapat dirujuk pada bahagian ini (hlm. 2-4). Kemudian memasuki Tanbih Bersalah-salahan Ulama Pada Usaha Yang Terafdal, Syeikh Abdul Qadir memulakan kalimat bahagian ini dengan katanya, "Telah berkata oleh beberapa ulama, yang terlebih afdal usaha itu berniaga. Dan telah berkata oleh setengah ulama yang Muhaqqiqin, bermula usaha yang terlebih afdal itu berbuat bendang, kemudian daripada itu usaha kepandaian. Seperti berbuat rumah dan perahu, menjahit dan barang sebagainya daripada segala kepandaian yang diharuskan oleh syara. Kemudian daripada itu pula berniaga.'' Pada bahagian ini dimulai dengan khabar daripada Muslim terjemahan menurut Syeikh Abdul Qadir, ``Tiada menanam oleh orang yang Islam akan satu tanaman dan tiada berbuat bendang ia akan satu bendang, maka makan daripadanya oleh manusia, dan tiada memakan akan dia oleh binatang, dan tiada suatu yang memakan akan dia melainkan adalah baginya itu sedekah.'' Setelah membandingkan pelbagai pendapat, lalu dimulai perbincangan mengenai jual beli, iaitu dimulakan dengan tiga macam bentuk jual beli: Pertama, berjual mata benda yang dilihat. Kedua, dijual akan mata benda yang belum lagi maujud. Ketiga, dijual mata-benda yang ghaib, yang tiada dilihat (hlm. 10-20).

Hukum riba

Setelah mengupas sesuatu barang yang sah dijual beli atau tidak sahnya secara terperinci, lalu membicarakan mengenai riba. Syeikh Abdul Qadir membuka lembaran ini dengan kata beliau, "Syahdan hendaklah mengetahui dan belajar pula akan hukum riba kerana wajib atas tiap-tiap orang yang berniaga itu berlajar segala hukum jual beli, dan hukum riba ...'' Menurut beliau, "Barangsiapa berniaga dahulu daripada mengetahui hukumnya nescaya haramlah atas orang itu dengan ittifaq segala ulama...'' Mengenai asal hukum haram riba beliau kemukakan ayat al-Quran dan beberapa hadis. Di antara hadis yang disebutkan terjemahan menurut Syeikh Abdul Qadir, "Satu dirham riba yang memakan akan dia oleh anak Adam itu terlebih sangat besar dosanya pada Allah Taala daripada tiga puluh enam kali mengerjakan zina. Riwayat Imam Ahmad daripada Abi Hurairah.'' Semua permasalahan riba dibicarakan mulai hlm. 20 sampai 31. Selanjutnya disambung dengan Tanbih Haram Menipu Daya Pada Berjual Beli. Di antara hadis yang dipetik pada perbincangan ini terjemahan menurut Syeikh Abdul Qadir, "Dan barangsiapa menipudaya ia akan kami maka tiadalah ia daripada kami.'' (hlm. 32-41). Tidak kalah juga pentingnya beliau memberi subjudul Tanbih Suatu Perjagaan Pada Menyatakan Hukum Orang Yang Mengurangkan Sukatan Dan Timbangan''. (hlm. 46-49).

KETURUNAN DAN MURID

Syeikh Abdul Qadir ini sangat besar pengaruhnya sama ada kepada masyarakat luar mahu pun kepada pihak Kerajaan Terengganu. Sangat ramai murid beliau menjadi ulama besar dan pemimpin kerajaan Terengganu. Daripada keturunan (zuriat) beliau demikian juga adanya. Beliau meninggalkan anak 21 orang lelaki dan perempuan. Mereka ialah: 1. Wan Abdur Rahim, 2. Wan Muhammad Amin, 3. Wan Muhammad Sa'id, 4. Wan Muhammad Saleh, 5. Wan Jamilah, 6. Wan Maimunah, 7. Wan Putih, 8. Wan Hitam, 9. Wan Khatijah, 10. Wan Maryam, 11. Wan Abdullah, 12. Wan Halimah, 13. Wan Salamah, 14. Wan Abu Bakar, 15. Wan Ahmad, 16. Wan Kaltsum, 17. Wan Abdur Rahman, 18. Wan Aminah, 19. Wan Man, 20. Wan Salimah, 21. Wan Muda. Yang menjadi ulama dan pembesar di Terengganu di antaranya Wan Muhammad Saleh, iaitu berpangkat Tok Kaya Pahlawan atau Datok Sangsura Pahlawan. Cucu beliau bernama Wan Abdul Hamid bin Wan Muhammad Sa'id bin Syeikh Abdul Qadir juga sebagai Datok Sangsura Pahlawan.

Di antara murid Syeikh Abdul Qadir Bukit Bayas yang sangat terkenal sebagai tokoh atau pun ulama ialah Baginda Sultan Umar (Sultan Terengganu), Wan Abdullah bin Muhammad Amin al-Fathani (Syeikh Duyung), Tok Ku Tuan Besar, Tuan Guru Mahmud bin Muhammad Yusuf Kemaman (penyalin pelbagai manuskrip) dan ramai lagi.

WAFAT

Syeikh Abdul Qadir bin Abdur Rahim al-Fathani Bukit Bayas, Terengganu wafat dalam tahun 1864 M di Kampung Paya Bunga, Terengganu. Riwayat lain menyebut beliau wafat di Bukit Bayas, Terengganu.

Oleh: WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH (Utusan Malaysia)

wassalam